Jawa Pos 
2 September 1996 
Mengenang Partisipasi Politik Banser 1965
Menumpas Makar PKI 1 Oktober 1965
Oleh Agus Sunyoto *
 Aksi sepihak yang dilakukan PKI berpuncak pada pembunuhan atas Pelda 
   Sudjono di Bandar Betsy. Dengan menggunakan cangkul, linggis, 
   pentungan, dan kapak sekitar 200 orang BTI membantai perwira itu. 
   Pembantaian terhadap anggota militer itu mendapat reaksi keras dari 
   Letjen A Yani. Tokoh-tokoh PKI yang mendalangi kemudian diproses 
   secara hukum. Namun hal itu makin menambah keberanian PKI dalam 
   melakukan aksi sepihak. 
    
   PKI yang sudah merasa kuat, kemudian melakukan intervensi ke bidang 
   politik dengan merekayasa suatu "kebulatan tekad" dari organisasi 
   se-aspirasi mereka. Tanggal 6 Januari 1965, organisasi se-aspirasi PKI 
   seperti SB/SS Pegawai Negeri, Lekra, Gerwani, Wanita Indonesia, Pemuda 
   Indonesia, Germindo, Pemuda Demokrat, Pemuda Rakyat, BTI dan 
   sebagainya mengadakan pertemuan umum di Semarang guna menggalang 
   "kebulatan tekad" untuk menuntut pembubaran Badan Pendukung Soekarno 
   (BPS) dan mendukung sikap Indonesia keluar dari PBB (Pusjarah ABRI, 
   1995,IV-A:107-108). 
    
   Keberanian PKI dalam melakukan aksi sepihak, ditunjukkan dalam aksi 
   yang lebih berani yakni menduduki kantor kecamatan Kepung, Kediri. 
   Camat Samadikun dan Mantri Polisi Musin, melarikan diri dan meminta 
   perlindungan Ketua Ansor Kepung yaitu Abdul Wahid. Untuk sementara, 
   kantor kecamatan dipindah ke rumah Abdul Wahid. Dan sehari kemudian, 
   sekitar 1000 orang Banser melakukan serangan ke kantor kecamatan untuk 
   merebutnya dari kekuasaan PKI. Hanya dengan bantuan Gerwani, ratusan 
   PKI yang menguasai kantor itu bisa lolos dari sergapan Banser. 
    
   PKI juga telah mulai berani membunuh tokoh PNI. Ceritanya, di desa 
   Senowo, Kenocng, Kediri, tokoh PNI bernama Paisun diculik PKI desa 
   Botorejo dan Biro. Keluarganya lapor kepada Ansor. Waktu dicari, mayat 
   Paisun ditemukan di WC dengan dubur ditusuk bambu tembus ke dada. 
   Banser dibantu warga PNI menyerang para penculik. Tokoh-tokoh PKI dari 
   Botorejo dan Biro dibantai. Malah dalang PKI bernama Djamadi, dibantai 
   sekalian karena menjadi penunjuk jalan PKI. Juni 1965, Naim seorang 
   pendekar PKI desa Pagedangan, Turen, malang menantang Banser sambil 
   membanting Al-Qur'an. Naim dibunuh Samad. Mayatnya dibenamkan di 
   sungai. 
    
   KUDETA 1 OKTOBER 1965 
   Tanggal 1 Oktober 1965 mulai pukul 03.30 sampai 05.00, gerakan makar 
   PKI yang dipimpin oleh Letkol Untung menculik para Jenderal AD yang 
   difitnah sebagai anggota Dewan Jenderal. Letjen Ahmad Yani, Brigjen DI 
   Panjaitan, Mayjen Soetoyo, Mayjen Soeprapto, Brigjen S. Parman, dan 
   Mayjen Haryono MT mereka culik dan bunuh (Puspen AD, 1965: 9-10). 
   Sekalipun aksi itu terjadi 1 Oktober 1965, PKI menamakan aksinya itu 
   dengan nama "Gerakan 30 September". Tanggal 1 Oktober itu juga, Letkol 
   Untung menyatakan bahwa kekuasaan berada di tangan Dewan Revolusi. 
   Untung juga menyatakan kabinet demisioner. Pangkat para jenderal 
   diturunkan sampai setingkat letnan kolonel, dan prajurit yang 
   mendukung Dewan Revolusi dinaikkan pangkat satu sampai dua tingkat. 
    
   Aksi sepihak Letkol Untung yang menculik para jenderal dan membentuk 
   Dewan Revolusi serta mendemisioner kabinet, jelas merupakan upaya 
   kudeta. Sebab dalam Dewan Revolusi itu tidak terdapat nama Presiden 
   Soekarno. Kabinet yang didemisioner pun adalah kabinet Soekarno. Dan 
   jenderal-jenderal yang diculik pun adalah jenderal-jenderal yang setia 
   pada Soekarno. Bahkan Jenderal A.H. Nasution, adalah jenderal yang 
   pernah ditugasi Soekarno untuk menumpas PKI dalam pemberontakan di 
   Madiun 1948. 
    
   Menghadapi aksi sepihak Letkol Untung, tanggal 1 Oktober 1965 itu juga 
   PBNU mengeluarkan pernyataan sikap untuk mengutuk gerakan tersebut. 
   Pada 2 Oktober 1965, pimpjna muda NU, Subchan Z.E., membentuk Komando 
   Aksi Pengganyangan Kontra Revolusi Gerakan 30 September disingkat KAP 
   GESTAPU yang mengutuk dan mengganyang aksi kudeta 1 oktober 1965 itu. 
    
   Tanggal 2 Oktober itu pula Mayjen Sutjipto, Ketua Gabungan V KOTI, 
   mengundang wakil-wakil ormas dan orpol yang setia pada Pancasila ke 
   Mabes KOTI di Jl Merdeka Barat. Rapat kemudian memutuskan untuk secara 
   bulat berdiri di belakang Jenderal Soeharto dan Angkatan Darat (O.G. 
   Roeder, 1987: 48-49). Sementara di Kediri, tanggal 2 Oktober 1965 
   sudah tersebar pamflet-pamflet yang menyatakan bahwa dalang di balik 
   peristiwa 1 Oktober 1965 adalah PKI. 
    
   BENTROK BANSER VS PKI 
   10 Oktober 1965, sekalipun PKI menyatakan bahwa peristiwa 1 Oktober 
   yang dinamai 'Gerakan 30 September' itu adalah persoalan intern AD dan 
   PKI tidak tahu-menahu, anggota Banser di kabupaten Malang mulai 
   menurunkan papan nama PKI beserta ormas-ormasnya. Hari itu juga, 
   tokoh-tokoh PKI di daerah Turen mulai diserang Banser dan dibunuh. Di 
   antara tokoh PKI yang terbunuh saat itu adalah Suwoto, Bowo, dan 
   Kasiadi. Palis, kawan akrab Bowo, karena takut dibunuh Banser malah 
   bunuh diri di kuburan desa Pagedangan. 
    
   11 Oktober 1965, Banser beserta santri dari berbagai pesantren di 
   Tulungagung menyerang PKI di kawasan Pabrik Gula Mojopanggung. Sekitar 
   3 ribu orang PKI yang sudah bersiaga dengan senjata panah, kelewang, 
   tombak, pedang, clurit, air keras, dan lubang-lubang di dalam rumah, 
   berhasil dilumpuhkan. Tanpa melakukan perlawanan berarti, pasukan PKI 
   itu ditangkapi Banser dan disembelih. Para anggota Banser dan santri 
   yang usianya sekitar 13 - 16 tahun itu, berhasil melumpuhkan para 
   jagoan PKI. 
    
   Pada 12 Oktober 1965, sekitar 3 ribu orang anggota Banser mengadakan 
   apel di alun-alun Kediri. Setelah apel usai, mereka bergerak 
   menurunkan papan nama PKI beserta ormas-ormasnya di sepanjang jalan 
   yang mereka lewati. Di markas PKI di desa Burengan, telah siaga 
   sekitar 5 ribu orang PKI dengan bermacam- macam senjata. Iring-iringan 
   Banser yang dipimpin Bintoro, Ubaid dan Nur Rohim itu kemudian 
   dihadang oleh PKI. Terjadi bentrokan berdarah dalam bentuk tawuran 
   massal. Sekitar 100 orang PKI di sekitar markas itu tewas. Sementara, 
   di pihak Banser tidak satupun jatuh korban. Dalam peristiwa itu, 
   Banser mendapat pujian dari Letkol Soemarsono, komandan Brigif 6 
   Kediri karena kemenangan mutlak Banser dalam tawuran massal itu. 
    
   Pada 13 Oktober 1965, sekitar 10 ribu orang PKI di kecamatan Kepung, 
   Kediri, melakukan unjuk kekuatan dalam upacara pemakaman mayat Sikat 
   tokoh PKI setempat yang tewas dalam peristiwa di Burengan. Mereka 
   menyatakan akan membalas kematian para pimpinan mereka. Dan sore hari, 
   dua orang santri dari pondok Kencong yang pulang ke desanya di Dermo, 
   Plosoklaten, dicegat di tengah jalan. Seorang dibunuh. Tubuh 
   dicincang. Seorang dikubur hidup-hidup. 
    
   Kematian dua orang santri yang masih remaja itu, membuat Banser marah. 
   Tapi mereka belum berani menyerbu ke desa Dermo, karena kedudukan PKI 
   di situ sangat kuat. Akhirnya, Banser setempat meminta bantuan Banser 
   dari pondok Tebuireng, Jombang. Dengan kekuatan lima truk, Banser 
   Tebuireng masuk ke desa Dermo. Truk mereka diberi tulisan BTI 
   singkatan dari Banser Tebu Ireng. Rupanya, PKI menduga bahwa BTI itu 
   adalah Barisan Tani Indonesia yang merupakan ormas mereka. Walhasil, 
   bagaikan siasat "kuda Troya", pertahanan PKI di desa Dermo dihancurkan 
   dari dalam. 
    
   Pertarungan antara Banser dengan PKI yang berakibat fatal bagi Banser 
   adalah di Banyuwangi. Ceritanya, Banser dari Muncar yang umumnya dari 
   suku Madura dikenal amat bersemangat mengganyang PKI. Itu sebabnya, 
   pada 17 Oktober 1965, di bawah pimpinan Mursyid, dengan kekuatan tiga 
   truk mereka menyerang kubu PKI di Karangasem. Di Karangasem, terjadi 
   bentrok berdarah setelah Banser tertipu dengan makana beracun. Dalam 
   bentrokan itu 93 orang Banser gugur. Sisanya melarikan diri ke arah 
   Jajag dan ke arah Cluring. Ternyata, Banser yang lari ke Cluring 
   dihadang PKI di desa itu. Sekitar 62 orang Banser dibantai dan 
   dimakamkan di tiga lubang dekat kuburan desa. 
    
   Pada 27 Oktober 1965, pemerintah mengeluarkan seruan agar 
   masing-masing ormas tidak saling membunuh dan melakukan aksi 
   kekerasan. Siapa saja yang melakukan penyerangan sepihak, akan diadili 
   sebagai penjahat. Seruan itu dimanfaatkan oleh PKI. Mereka melaporkan 
   anggota Banser yang telah membunuh keluarga mereka. Dan jadilah 
   hari-hari sesudah 27 Oktober itu penangkapan dan pemburuan aparat 
   keamanan terhadap Banser. 
    
   PENUMPASAN PKI 
   Dalam bulan November-Desember, setelah sejumlah pimpinan PKI seperti 
   Brigjen Supardjo, Letkol Untung, Nyono, Nyoto, dan Aidit diberitakan 
   tertangkap, makin terkuaklah bahwa perancang kudeta 1 Oktober 1965 
   adalah PKI. Saat-saat itulah pihak ABRI khususnya AD mulai melakukan 
   pembersihan dan penumpasan terhadap PKI beserta ormas-ormasnya. Dan 
   tangan kanan yang digunakan oleh pihak militer itu adalah "anak didik" 
   mereka sendiri dalam hal ini adalah Banser yang memiliki jumlah 
   anggota puluhan ribu orang. 
    
   Dalam suatu aksi penangkapan dan penumpasan PKI di Kediri, misalnya, 
   pihak AD hanya menurunkan 21 personil. Sedang Banser yang dilibatkan 
   mencapai jumlah 20 ribu orang lebih. Dengan jumlah yang besar itu, 
   diadakan operasi yang disebut "Pagar Betis" yakni wilayah kecamatan 
   Kepung dikepung oleh Banser dalam jarak satu meter tiap orang. Dengan 
   cara pagar betis itulah, PKI tidak dapat lolos. Sekitar 6000 orang PKI 
   tertangkap (kisah lengkap terdapat dalam buku saya berjudul "Banser 
   Berjihad Menumpas PKI" 1996). 
    
   Penangkapan besar-besaran juga terjadi di Banyuwangi, Blitar, Malang, 
   Tulungagung, Lumajang dan kesemuanya melibatkan Banser. Mengenai 
   keterlibatan Banser dalam menumpas PKI, itu Komandan Kodim Kediri 
   Mayor Chambali (alm) menyatakan bahwa hal itu merupakan strategi ABRI 
   yang ampuh. Sebab di tubuh Banser tidak tersusupi unsur PKI. Sementara 
   jika dalam penumpasan itu hanya ABRI yang dilibatkan, maka pihak ABRI 
   sendiri belum bisa menentukan siapa lawan dan siapa kawan karena 
   banyaknya anggota ABRI yang dibina PKI. 
    
   OPERASI TRISULA 
   Tahun 1968, ketika PKI sudah dibubarkan dan pengikutnya ditumpas, 
   terjadi aksi-aksi kerusuhan di Blitar Selatan. Aksi- aksi kerusuhan 
   yang berupa perampokan, penganiayaan, penculikan, dan pembunuhan itu 
   selalu mengambil korban warga NU dan PNI. Sejumlah korban yang 
   terbunuh, misalnya, Kiai Maksum dari Plosorejo, Kademangan. Sesudah 
   itu Imam Masjid Dawuhan. Tokoh PNI yang terbunuh adalah Manun dari 
   desa Dawuhan, kemudian Susanto Kepala Sekolah Panggungasri, dan Sastro 
   kepala Jawatan Penerangan Binangun. Puncaknya, 2 orang anggota Banser 
   yang sedang jaga keamanan di gardu di bunuh. 
    
   Para pimpinan Ansor Blitar melaporkan kecurigaan mereka kepada 
   Komandan Kodim akan bangkitnya kembali kekuatan PKI di Blitar. Namun 
   laporan itu tak digubris. Akhirnya, mereka menghubungi seorang aktivis 
   Ansor yang menjadi Danrem Madiun yakni Kolonel Kholil Thohir. Oleh 
   Kholil Thohir disiapkan 3 batalyon yaitu 521, 511, dan 527 untuk 
   operasi yang diberi nama sandi "Operasi Blitar Selatan" . Namun 
   operasi berkekuatan 3 batalyon itu tidak mampu mengatasi gerakan 
   gerilya PKI. 
    
   Operasi kemudian diambil-alih oleh Kodam VIII/ Brawijaya yang 
   menurunkan 5 batalyon yaitu 521, 511, 527, 513, dan 531 dengan 
   Perintah Operasi No.01/2/1968. Namun operasi dari Kodam inipun kurang 
   efektif. Akhirnya, setelah dievaluasi diadakan operasi besar-besaran 
   dengan melibatkan semua unsur yakni kelima batalyon ditambah 
   unsur-unsur lain termasuk 10 ribu orang hansip dan warga masyarakat 
   Blitar Selatan. Surat perintah operasi itu bernomor 02/5/1968. Dan 
   penting dicatat bahwa 10 ribu orang Hansip itu adalah anggota Banser 
   yang diberi pakaian Hansip. 
    
   Dalam operasi terpadu yang diberi nama sandi "Operasi Trisula" itu, 
   sejumlah tokoh PKI berhasil ditewaskan. Di antara mereka itu adalah Ir 
   Surachman dan Oloan Hutapea. Sedang mereka yang tertangkap di 
   antaranya adalah Ruslan Wijayasastra, Tjugito, Rewang, Kapten 
   Kasmidjan, Kapten Sutjiptohadi, Mayor Pratomo, dan beratus-ratus 
   anggota PKI yang lain. Dan salah satu strategi operasi yang paling 
   efektif dalam Operasi Trisula itu adalah "Pagar Betis" yang melibatkan 
   10.000 orang Banser ditambah warga masyarakat yang kebanyakan juga 
   anggota Banser yang tidak kebagian seragam. Satu ironi mungkin terjadi 
   dalam Operasi Trisula itu, yakni selama operasi itu berlangsung telah 
   ditangkap sejumlah 182 orang anggota Kodam VIII/Brawijaya di antaranya 
   berpangkat perwira yang ikut dalam operasi tersebut (Pusjarah ABRI, 
   1995, IV-B:101-108). 
    
   Berdasar uraian singkat ini, dapat disimpulkan bahwa kelahiran Banser 
   tidak terlepas dari peranan ABRI terutama AD dan Brimob yang ikut 
   membidaninya. Itu sebabnya, keberadaan Banser sebagai paramiliter yang 
   digunakan untuk membantu proses penumpasan PKI oleh ABRI memiliki 
   nilai historis yang kuat, di mana semangat antikomunisme yang 
   terkristalisasi dalam doktrin Banser itu dapat dimanfaatkan 
   sewaktu-waktu oleh pihak ABRI jika negara dalam keadaan terancam 
   (habis)
Sumber: http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/09/01/0062.html
Kamis, 04 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar